Tetapi, kekayaan alam “Ita Wotu Nusa” belum sepadan dengan kemakmuran dan kesejahteraan yang diimpikan warganya. Padahal, sejak dulu rimba Nusa Ina (sebutan lain pulau Seram), sudah menjadi incaran para saudagar. Kayu, rotan, gaharu, pala, sagu dan tambang minyak yang berlimpah, semua yang terkandung didalamnya, telah dijamak berpuluh -puluh tahun.
Lebel petani yang disandang sebagian besar warga SBT, ternyata hanya hanya menjadi “pemanis bibir” saja. Kaum agraris di SBT, tetap saja merana, hidup dalam keterbatasan. Kemiskinan pun tetap menjadi sahabat karib.
Mereka pun masih tetap mencantumkan pekerjaan sebagai petani di KTP. Tetapi, pekerjaan sebagai petani sepertinya tak membuat mereka percaya diri. Akibatnya, produktifitas menurun bahkan nyaris tidak kelihatan. Lahan pertanian terutama pangan sekadar untuk memenuhi kebutuhan harian dan tak lagi diandalkan sebagai sumber untuk jadi modal dalam menaikan status sosialnya.
Ada sejumlah faktor yang ditengarai mempengaruhi fenomena petani miskin di tanah subur. Di antaranya kebijakan bidang pertanian yang tidak terintegrasi, prasarana produksi dan distribusi, pemberdayaan dan lemahnya marketing. Hal ini menyebabkan petani semakin ogah meningkatkan produksi. Di sisi lain, pola tradisional peladangan berpindah-pindah (shifting cultivation) yang masih mewarnai kehidupan petani membuat mereka seolah tak berdaya menciptakan hasil olahannya sebagai sumber kehidupan masa depan.
Dijamah Program SOLID
Sepotong diskripsi di atas, telah menjadi modal dasar pemikiran pelaksana kegiatan Proyek Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (PKPK) atau Smallholder Livelihood Development Project of Eastern (SOLID) di Kabupaten SBT.
Lima tahun sudah program ini hadir meng-Up Grade petani miskin di SBT, tentunya sudah banyak yang dilakukan. Ada 19 desa dari lima kecamatan yang terpilih menjadi desa binaan program SOLID.
Dari belasan desa ini, kemudian ditetapkan tujuh jenis komoditi unggulan daerah yang menjadi sasaran peningkatannya. Ketujuh komoditi ini meliputi : komoditi perkebunan, sagu, pala, kakao dan kelapa, kemudian komoditi tanaman pangan hortikultura, kacang tanah dan sayuran ditambah juga komoditi perikanan berupa ikan demarsal dan plagis (julung).
Tujuh komoditi unggulan lokal ini telah menjadi fokus perhatian manajemen SOLID SBT. Upaya peningkatan komoditi unggulan ini, bukan saja dilakukan temporer, namun sustanibel (berkelanjutan). Sudah tentu dimulai dari hulu tentang konsep budidaya, hingga ke hilir tentang produksi hingga pemasaran dan peluang industri.
Kini program SOLID yang merupakan kerjasama Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD) dalam rangka percepatan penurunan kemiskinan, itu telah memasuki fase kedua. Fase dimana konsep pemberdayaan itu lebih menukik ke proses kemandirian.
Hasilnya hingga memasuki tahun 2015 seleksi desa binaan pun terlihat. Ada delapan desa binaan yang masuk katagori memiliki prospek yang bagus dalam hal pengembangannya. Delapan desa dengan tujuh komoditi, setidaknya telah menjadi bukti adanya perubahan pola pikir.
Desa- desa dimaksud adalah, Desa Rukun Jaya dan Jembatan Basah dengan komoditi kakao, Desa Solang dengan komoditi kacang tanah, Desa Angar dengan komoditi sagu, Desa Kellu dengan komoditi ikan julung, Desa Kilwaru dengan komoditi ikan demarsal, Desa Dai dan Desa Tunas Ilur dengan komoditi pala.
Penetapan desa-desa dengan komoditi unggulan ini, bukan berati 11 desa lainnya tidak menjadi perhatian. Namun kedelapan desa ini, akan menjadi role model pengembangan komoditi unggulan di Kabupaten SBT.
“Semua desa binaan akan tetap diperhatian dan terus dilakukan pembinaan baik itu berupa intervensi bantuan maupun intervensi berupa kegiatan penguatan kapasitas petani. Namun, khusus untuk kedelapan desa ini, akan ada perlakukan khusus, dengan membangun unit-unit usaha yang akan menopang ekonomi warga desa,”kata Koordinator SOLID SBT Agus Rachmat Nurlette, SP.
Komitmen peningkatan kesejahteraan petani yang dilakukan manajemen SOLID SBT, bukan tanpa alasan. Di antara delapan desa binaan yang memiliki prospek itu, lima diantaranya telah dibangun unit usaha yang konsep pengelolaannya diatur secara profesional dengan melibatkan anggota kelompok sebagai pengurus unit usaha.
Bukan saja soal manajemen organisasi unit usaha dan keuangan yang menjadi perhatian, namun intervensi berupa peralatan penunjang usaha pun sudah dilakukan pada tahun 2016 ini. Disamping itu, sejumlah peket kegiatan pelatihan dan sekolah lapang dan kegiatan anjang karya berbasis komoditi unggulan juga digelar sebagai bentuk transpormasi pengetahuan kepada petani binaan. Hasilnya, beberapa produk unggulan dari komoditi-komoditi unggulan itu pun sudah diluncurkan bahkan dipasarkan lengkap dengan perizinan yang harus dimiliki.
Sebut saja, produk minyak goreng Minlen yang diproduksi unit usaha Farang Lena, Desa Namalena, Kecamatan Teluk Waru, produk kacang botol yang diproduksi oleh unit usaha Wai Solang, Desa Solang, Kecamatan Teluk Waru, produk ikan asin tanpa tulang dan abon ikan yang diproduksi oleh Unit Usaha Karya Mandiri dan Karya Ibu, Desa Kilwaru, Kecamatan Seram Timur dan produk ikan julung kering (IKJ) yang diproduksi oleh Unit Usaha Sukuway, Desa Kellu, Kecamatan Seram Timur.
Sukses mendesain unit usaha di lima desa ini, di tahun 2017 mendatang, akan ada dua produk unggulan lokal yang akan diluncurkan juga. Dua produk lokal itu adalah sirum pala dan bubuk kakao yang akan dihasilkan unit usaha di Desa Dai dan Desa Jembatan Basah.
Eksistensi Unit Usaha
Meski usaha manajemen SOLID SBT, perlahan telah menunjukan hasil yang signifikan, namun jaminan kelangsungan usaha -usaha yang kini dilakukan oleh sejumlah unit usaha itu, tetap menjadi sebuah kekuatiran besar.
Manajemen SOLID SBT, terus melakukan upaya-upaya jitu untuk mengenalkan produk hasil karya petani binaan itu. Promosi terus gencar dilakukan, dengan melibatkan sejumlah pihak dalam berbagai moment, salah satunya dengan melibatkan Tim Penggerak PKK, Kabupaten SBT dalam kegiatan workshop.
“Keterlibatan semua pihak harus ada, sehingga produk-produk unggulan yang dihasilkan petani binaan SOLID ini dapat dijadikan sebagai produk unggulan daerah. Kita bukan saja butuh pengakuan, tapi proses perizinan dan pasar yang maksimal harus tercipta untuk menjaga eksistensi produk-produk ini,” ungkap Nurlette.
Selain terkait dengan promosi produk dengan sasaran pasar yang lebih luas, manajemen dalam unit usaha pun terus dibenahi. Kelangsungan usaha dengan memperhatian dampak ekonomi kepada pengurus unit usaha dan petani secara menyeluruh menjadi hal mutlak dilakukan. Untuk itu, setiap unit usaha harus dikelola dengan menggunakan konsep bisnis yang memadai.
“Mereka (pengurus usaha-red) diberikan upah sesuai hasil produk yang dihasilkan sehingga mereka akan menjadi usaha itu sebagai satu-satunya objek yang menghasilkan pendapatan bagi mereka,”urainya.
Kini produk-produk olahan tangan terampil petani binaan SOLID SBT itu sudah bisa dijumpai di sejumlah toko dan mini market di kota Bula. Ekspansi pasar ke sejumlah daerah termasuk kota Ambon terus dijejaki. Namun, tanggungjawab untuk menjaga kelangsungan produk dari unit-unit usaha itu, harus menjadi sebuah isu penting pemerintah daerah melalui stakeholder terkait. Apalagi usia program SOLID di Provinsi Maluku termasuk SBT, hanya tersisa dua tahun saja.
Jika nantinya kemandirian petani melalui usaha produktif yang sudah dijalankan ini, tidak di –take over oleh pemerintah daerah, maka tidak ada garansi bahwa kedepan petani SBT akan kembali ke tradisi lama dan kemajuan yang diimpikan akan selamanya menjadi mitos yang diwariskan secara turun temurun (***)